Pernah ada yang bertanya, tanpa perasaan, bukankah berarti berdarah dingin? Dialog sebelumnya telah kulupakan yang teringat hanyalah pembicaraan topik tersebut. Dari jawabannya saat itu telihat kebimbangan dalam hatinya.
Kukatakan, tanpa perasaan tidak lagi dipenatkan oleh emosi, tidak akan dikuasai emosi, tidak akan egois, hanya memikirkan diri sendiri dan kelompok di sekitarnya. Melainkan digantikan oleh kasih. Kasih adalah rasa sayang yang lebih besar, tidak egois, yaitu kasih sayang tanpa syarat.
Mungkin dia berpikir bahwa tanpa perasaan hanya akan menampilkan orang berdarah dingin.
Sebenarnya orang yang berdarah dingin pada hakekatnya adalah egois, karena hanya memikirkan diri sendiri, bahkan mencampakkan dan tidak menghiraukan orang-orang di sekitarnya, benar-benar sepenuhnya hanya mempedulikan kebaikan diri sendiri. Sangat jelas masih memiliki perasaan.
Memiliki perasaan terhadap diri sendiri, hanya mempedulikan emosi diri sendiri, sepanjang hari hanya berpikir tentang bagaimana melewatkan hari dengan menyenangkan, memperhitungkan apakah kepentingannya akan dirugikan, sepenuhnya hanya berkubang dalam dunia mereka sendiri.
Saya merasa heran mengapa secara umum dikatakan, “Orang yang tanpa perasaan, berarti orang tersebut hanya mempedulikan diri sendiri, tidak menghiraukan orang lain.”
Sesungguhnya yang dimaksud sebagai orang yang tanpa perasaan, adalah orang yang memperuntukkan perasaannya bagi diri sendiri dan tidak menyisakan perasaan tersebut bagi orang-orang di sekitarnya, saya pikir penjelasan demikian seharusnya agak lebih tepat.
Orang yang tidak berperasaan, jika ingin benar-benar menjadi tidak berperasaan sebenarnya tidaklah mudah! Dia harus mampu melepaskan perasaan baik maupun buruknya, juga harus berlapang dada untuk dapat memperhatikan kepentingan yang lebih besar. Orang itu juga harus mampu tidak bergeming hatinya, sekalipun karena ketidak-mengertian orang lain akan dikatakan baik atau tidak baik. Dengan tidak bergeming hatinya maka tidak akan timbul emosi, bukankah ini disebut tidak berperasaan? Bukankah telah menyeimbangkan diri agar jangan karenanya bersuka hati ataupun menyalahkan diri sendiri? Ini merupakan sikap hati jalan tengah.
Dengan sikap mental seperti ini, suasana hatinya tentu sangat tenang. Jika orang dengan sikap hati seperti ini sepenuh hati ingin membantu orang lain, melengkapi kekurangan orang lain, sehingga suatu masalah dapat diselesaikan dengan sempurna. Sekalipun dalam proses tersebut dia tampaknya hanya berperan kecil, sebenarnya sangat luar biasa.
Orang seperti ini, dalam hatinya tentu terdapat sebuah misi suci, mungkin dia tidak akan berterus-terang, karena dia tidak ingin memamerkan kebesarannya. Dia hanya ingin beramal secara diam-diam.
Mentalitas pamer juga merupakan semacam perasaan, yaitu ingin agar orang lain mengagumi kebolehannya.
Setelah saya menyadari perbedaan yang dimaksud kebanyakan orang di masa lalu tentang tidak berperasaan dengan tidak berperasaan yang sebenarnya, pada suatu kesempatan saya terlibat sebuah pembicaraan sederhana dengan seorang teman. Setelah mendengar penjelasan ini, teman tersebut berhenti berbicara, seolah sedang memikirkan sesuatu. Namun dapat saya amati ekspresi wajahnya, seakan baru mendengarkan sebuah pemikiran baru kemudian berusaha keras untuk memahaminya.
Namun apakah orang yang memiliki kasih, kasih sayang sejati tanpa syarat, memang ada di dunia ini?
Sebenarnya, memang ada, hanya saja ada dalam berbagai tingkatan, sebab itu manifestasinya juga berbeda. Namun jika diamati dengan hati tenang, menyangsikan?! Orang ini, apakah benar-benar untuk kebaikan saya?! Rasakan, tenanglah, rasakan pancaran suasana hatinya yang tanpa ego, semuanya akan dapat dirasakan.
Kalau begitu, jangan-jangan menginginkan saya menyumbang sesuatu?! Hal ini sama saja, tenangkan hati dan amati lagi, amati makna yang tersirat dalam kata-katanya, amati perilakunya, amatilah apa yang disebut pemberian tanpa syarat yang sebenarnya, kasih sayang tanpa syarat yang sesungguhnya.
Bukalah hati Anda, rasakan, Anda akan melihatnya.
No comments:
Post a Comment