Gua cukup tergelitik juga dengan pernyataan salah satu penyanyi muda tanah air di media cetak yang bilang bahwa “Yang dilihat orang pertama kali, ya penampilan fisik kita. Baru kemudian akan dilihat perilaku, cara berpikir, cara bicara, dan sosialisasi kita. Kalau kita kucel, ya enggak dilirik. Kecantikan memang tidak abadi, tapi kalau rajin merawatnya, kita akan menjadi orang yang percaya diri dan mudah bereksistensi. Yang enggak kalah penting, kenali diri sendiri dan do the best.”
Untuk statement-nya yang paling terakhir, gua gak akan mengernyitkan dahi, karena gua pun mutlak sependapat sama dia. But for the previous, let’s discuss ‘bout it gals. I know, u gal, like ‘bout this topic, BEAUTY. Siapa sih cewek yang gak pengen cantik? Kalo merujuk iklan salah satu sabun sih, kecantikan itu bervariasi, gak bisa dipukul rata. Itu ditunjukkan dengan bintang iklannya yang mencakup gadis-gadis dari berbagai warna kulit dan umur. Intinya, ya tetep… dia pasang target market yang luas, yaitu pemasaran produk bagi seluruh gadis (termasuk ibu, tante, nenek) di berbagai belahan dunia. Intinya, dia menanamkan pesan kalo kecantikan (beauty) itu tidak didasarkan pada warna kulit, umur, ras, kebangsaan, bahkan kepintaran (brain). Semua cewek cantik, absolutely, dengan karakter dan ciri khasnya masing-masing. Kalo gak cantik, emang bukan cewek dong, tapi cowok (meski gua punya temen cowok yang bisa dikategorikan cakep sekaligus cantik, hehe…! really!) Eh, balik ke beauty. Kalo iklan sabun yang itu menekankan pada keragaman, iklan sabun yang lainnya menekankan pada “da power of beauty” dengan slogannya “play with beauty.” Ini juga sama aja (anyway, kedua produk sabun itu kebetulan bernaung di bawah Multinational Corporation yang sama), target market yang dibidik banyak.
Tapi dengan taburan bintang iklannya yang sangat kelihatan “dibayar mahal dan mutlak cantik menurut ukuran media,” pastinya udah jelas pesannya apa: Cewek-cewek bisa secantik mereka kalo pake produk itu. Itulah beauty industrial complex (ni judul skripsinya Dian Sastro. Kaya’nya asik tuh dibaca, buat nambah wawasan kaum cewek. Tapi gimana bisa dapetinnya ya Mbak Dian?) Btw, namanya juga industri periklanan. Kalo mau laku ya emang harus pinter bikin percaya pasar, whateva da way. Itu udah kerjaannya orang advertising kan? Mereka digaji untuk itu (waduh, bahkan gua gak digaji untuk bikin tulisan ini, hehe… amatiran sih…)
Tapi dengan taburan bintang iklannya yang sangat kelihatan “dibayar mahal dan mutlak cantik menurut ukuran media,” pastinya udah jelas pesannya apa: Cewek-cewek bisa secantik mereka kalo pake produk itu. Itulah beauty industrial complex (ni judul skripsinya Dian Sastro. Kaya’nya asik tuh dibaca, buat nambah wawasan kaum cewek. Tapi gimana bisa dapetinnya ya Mbak Dian?) Btw, namanya juga industri periklanan. Kalo mau laku ya emang harus pinter bikin percaya pasar, whateva da way. Itu udah kerjaannya orang advertising kan? Mereka digaji untuk itu (waduh, bahkan gua gak digaji untuk bikin tulisan ini, hehe… amatiran sih…)
Kalo ngomongin beauty, gak bisa dipisahkan dari brain. Apalagi 3 standar pokok yang biasa dipake di kontes Miss-Miss-an atau Putri-Putri-an ialah:
Brain, Beauty, Behaviour. Gua gak tau urut-urutannya duluan yang mana. Tapi menurut gua sih lebih tepat beauty-brain-behaviour. Soalnya, dari pendaftaran tahap awal aja udah kelihatan. Buat loe yang tingginya gak nyampe 165 cm, jangan berani-berani daftar, karena pasti gak ada gunanya, bakalan langsung terdiskualifikasi (cukup menyakitkan buat orang yang cuma 155 cm, hehe…) Nah kan, pengukuran fisik (beauty) memang dinomorsatukan, dan brain menyusul (walau gak bisa dinafikan pentingnya – eh, penting gak sih buat kontes macem gitu? Kok gua sok tau amat, padahal belum investigasi lapangan. Justifikasi dini nih. Kan gua gak pernah ikut, apalagi jadi jurinya…) Gak cuma miss-miss-an (jangan dibaca jadi
mimisan!), seleksi masuk bank pun menerapkan persyaratan ketat soal ketinggian (tower kali…), yaitu minimal 155 cm. Padahal ada beberapa temen
gua yang berminat jadi pegawai bank, cukup smart dan berpotensi, tapi tingginya cuma sekitar 151 cm. Agak mengenaskan bukan nasib mereka? Hehe…
Yah, belum rejeki kali (gampangnya anggep aja begitu ) Terus gua pernah
baca di salah satu media, ada lowongan reporter yang tingginya juga pake minimal, yaitu 160 cm. Pokoknya, dipikir-pikir, hidup ini kok penuh dengan ketinggian” ya (bisa ditafsirkan sebagai persyaratan tinggi badan atau bahkan ketinggian hati, hehe…)
Jadi, gimana dong? Mana yang lebih penting? Beauty or Brain? Alaah, gak usah pusinglah. Dua-duanya sama-sama pentingnya, dan itu tergantung cara
pandang masing-masing orang. Semua orang kan punyak hak untuk beda
pendapat sesuai argumen dan versinya masing-masing. Kalo artis-artis, ya
wajarlah kalo sebagian besar di antara mereka mentingin beauty. Lha wong
mereka dibayar n digaji karena beauty-nya! Jadi ok-ok aja kalo falsafah “beauty first” itu dipegang sama mereka. Tapi untuk Anda yang bukan artis, janganlah terlalu memegang falsafah itu berlebih. Karena gimana juga, kok gua lebih suka yang “brain first” (bukan maksud mencuci otak kalian loh ya! Ini pendapat!) Gua gak ngerti dengan pasti deh, definisi cantik itu kaya’ apa, karena definisi yang ada sekarang pastinya udah banyak terdistorsi dan terpengaruh oleh media mind, seperti kulit putih-rambut lurus tergerai-langsing-tinggi semampai. Itulah model barbie yang diciptakan kebanyakan media untuk Indonesia. Tapi belum tentu semua orang
mendefinisikan cantik kaya’ gitu.
Intinya, definisi cantik adalah KABUR!
Jadi, jangan takabur kalo ada orang bilang loe cantik, coz belum tentu yang laen bilang begitu. Tapi harus diakui, definisi buatan media sangat sukses meledak di pasaran, sehingga banyak cewek-cewek yang rela mengeluarkan uang banyak demi menjadi barbie-barbie baru. Rebounding rambut 700 ribu, no problem. Beli produk whitening n anti-aging ratusan ribu, no problem. Diet ketat menyengsarakan, also no problem. Argumennya ya boleh juga sih (ngerinya): Untuk cantik diperlukan pengorbanan (lagian kok repot, kan emang punya duwit) So, menurut mereka ini, it’s worthy-lah, sepadan. Tapi apa iya sih se-worthy itu? Yaa, balik lagi deh ke individu masing-masing.
So, just be smart n think smart! Apalagi sekarang banyak cewek pinter di
dunia. Jadi kalo loe gak berusaha untuk tambah pinter, loe bisa terdepak (hope dat I’m not in this category, coz I just can’t see it now) Orang pinter aja pasaran, apalagi orang cantik! Banyak wes dijumpai dimana-mana. Makanya poligami merajalela toh? Sekali lagi, TIDAK CUKUP CANTIK! Kalian Para CEWE harus berjuang untuk pintar! Jangan jadi cantik tapi bodoh. Sebaliknya, yang gak cantik bisa jadi seksi karena dia pintar.
Artis di awal cerita ini bilang kalo kecantikan akan mempermudah eksistensi. Ah, masa sih segitunya? Truly, I don’t ever believe that. Meskipun loe orang paling cantik di jagat raya, tapi kalo loe diem aja dan gak beraktualisasi, apa iya loe merasa eksis? Gua tetep lebih suka filosofi Descartes, cogito ergo sum! Kamu berpikir, maka kamu ada! Eksis!! Bukannya “kamu cantik, maka kamu ada.”
In da end, kelihatannya bagi para cewek untuk jadi cewek tetep agak susah ya? Udah harus pinter,harus bisa merawat diri pula. Tapi paling nggak, loe bisa melakukannya dalam kadar yang cukup. Sesuatu yang berlebihan gak baek toh? Dan siapa bilang cewek doang? Cowok juga sama (seperti gwa misalnya). Punya tuntutan tersendiri.
Intinya:
This is one world. Let’s improve ourselves together to create better world, with THINK SMART and PLAY WITH KNOWLEDGE!!!
Tapi sekali lagi semua tuch kembali ke pribadi masing-masing sich...... menurut kalian ?????????
Diambil dari :Debate Club Kaskus
No comments:
Post a Comment